Sabtu, 28 Mei 2011

si kacamata ongol *1



datang dengan tatapan paling kosong yang ia punya.kamar pengap, sepengap apapun tetap saja menjadi persembunyian paling disenanginya. ia lucuti semua kain hitam di tubuh kurus penopang daging dan kulit ala kadarnya. menelanjangi dirinya sendiri dan lalu menyentuh payudara kirinya. pejaman mata memiriskan tampang gilanya. air sebak besar digunakan hanya untuk mengguyur gerah. playlist yang disetel keras-keras sebelum duduk di jamban didengarnya dengan khidmat. hari ini seperti menguras banyak kuatnya. mungkin sedang direcoki bual-bualan murahan.atau cibiran paling basi sepanjang masa.bibir pucatnya menyungging, ejekan ter-nya.mata yang penuh guratan merah memicing, "orang sepertimu? hheh, buang-buang waktu saja" -kira kira seperti itulah maksudnya-.

***

ia selalu saja seperti itu, seraya membenarkan letak alat bantu penjelas penglihatannya, ia akan memutar lehernya atas bawah kiri kanan.atau sambil menunggu didihan air bakal secanteng teh manis panas favoritnya, ia akan menyusuri sudut kamar kecilnya, nongkrong, mengingat ingat wajah menjijikkan musuhnya, calon musuhnya, mantan musuhnya, setelah lelah mengingat, teh dibayangkannya seperti wajah itu lalu diseduhnya dalam air didih bersama senyum sunggingnya. tingkah aneh yang amat disenanginya.buang-buang waktu yang menyita banyak waktunya. dan akhir-akhir ini diserang jutaan suku kata yang bahkan ia sendiri tak sangka akan diraup dan dikunyahnya dengan riang.

***

kemarin ketika melewati pasar depan kompleks kamar sewanya, langkah kaki ia putar kearah penjual ikan satu-satunya dalam pasar kecil itu. sisa uang jajan yang tadinya akan ditukarkannya dengan es krim kacang ijo diberikannya pada si bapak kumis putih. lumayanlah dapat seekor ikan kecil. dengan tambahan nasi tadi pagi semoga bisa mengenyangkan tiga ekor kucing kecil depan kostan, pikirnya.ia sendiri lupa kapan pertama kali menyukai hewan yang menjadi musuhnya semasa kecil. baret di keningnya menjadi kenang-kenangan nenek moyang kucing kecil yang ia lindas ekornya dengan sepeda roda tiga hadiah ulangtahun dari mamaknya, yang bisa dengan jelas ia jelaskan setiap kali ada yang menanyakan luka itu. ah, betapa hal yang paling ia benci sanggup diingatnya dengan jelas disetiap detil, dan parahnya lagi, ia malah berbalik mencintainya.

***

kekasih yang tak kalah cekingnya, meneriakinya lantang. ia menoleh, tersenyum, menyimpul tali sepatu andalannya, kemudian berlari ke arah lelaki itu. adegan ini selalu ada, hampir di tiap harinya bahkan. saat lilitan usus memberi alarm untuk disibukkan, gerobak bakso favorit akan melintas di kepala. sesuai ukuran isi kantong menyedihkan mereka, mengenyangkan, enak, dan mereka menyukai aromanya. meskipun kadang urus-urusan perut selalu saja mendiamkan mereka yang amuk. yah, kemalasannya mengunyah membuat kekasihnya rada dongkol menemaninya nangkring di warung makan. oh tuhan, demi langit dan bumi, jika bisa ia perlihatkan lambungnya, mungkin kekasihnya itu akan sedikit mengerti porsi makannya. -lambungku hanya muat sedikit- teriak dalam hatinya setiap kali dilototi pertanda perintah makan banyak.

jadi ingat moment beberapa hari lalu yang ia ceritakan. bersama kekasihnya, ketika lagi-lagi bunyi perut bersahutan tepat di pukul 12:37. mereka kelaparan, saling mengeluh, tapi oh kantuk dan kemalasan mencari makan diluar sana lebih mendominasi. jadilah mereka tetap di atas kasur-yang-tak-lagi-empuk tempat mereka menghabiskan banyak waktu malam hari. saling membayangkan masakan ibu. lepas itu, menertawai diri. betapa kemalasan mengurung kita dalam kelaparan. bodohnya-kata mereka-.

Tidak ada komentar: